Ahnaf bin Qais (Berguru Kepada Umar Al-Faruq)
Oleh: Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya
/
Publikasi: Jum'at, 25 Februari 2011 08:49
Kita memasuki masa awal khilafah Umar bin
Khathab. Saat di mana para pahlawan dan tokoh kaum Ahnaf bin Qais, yaitu
Bani Tamim, berlomba memacu kuda-kuda mereka yang perkasa dengan pedang
terhunus yang berkilat-kilat. Dari rumah-rumahnya di Ahsa dan Najd
mereka keluar menuju Bashrah, untuk bergabung pasukan muslimin yang
telah berkumpul di sana, di bawah pimpinan Utbah bin Ghazwan. Mereka
hendak menghadapi Persia, berjihad fii sabilillah dan mengharapkan
mardhatillah. Di tengah-tengah mereka ada seorang pemuda bernama Ahnaf
bin Qais.
Suatu hari Utbah bin Ghazwan menerima surat dari Amirul Mukminin Umar
bin Khathab meminta agar dikirim sepuluh orang prajurit utama dari
pasukannya yang telah berjasa dalam perang. Amirul Mukminin inginm
mengetahui hal ihwal pasukan Islam dan ingin meminta pertimbangan
mereka.
Perintah itu pun segera dilaksanakan oleh Utbah. Beliau mengirim
sepuluh orang pasukan yang terbaik kepada Amirul Mukminin di Madinah,
termasuk Ahnaf bin Qais. Lalu berangkatlah mereka menuju Madinah.
Setibanya para utusan itu disambut oleh Amirul Mukminin dan
dipersilakan duduk di dalam majelisnya. Mereka ditanya tentang
kebutuhan-kebutuhan rakyat semuanya. Mereka berkata, “Tentang kebutuhan
rakyat secara umum Anda lebih tahu karena Anda adalah pemimpinnya. Maka
kami hanya berbicara atas nama pribadi kami sendiri.” Kemudian
masing-masing meminta kebutuhannya.
Kebetulan Ahnaf bin Qais mendapatkan kesempatan terakhir untuk
berbicara karena terhitung paling muda di antara mereka. Beliau memuji
Allah dan menyanjung-Nya, kemudian berkata, “Wahai amirul mukminin
sesungguhnya tentara kaum muslimin yang dikirim ke Mesir, mereka tinggal
di daerah subur menghijau dan tempat yang mewah peninggalan Fir’aun.
Sedangkan pasukan yang dikirim ke negeri Syam, mereka tinggal di tempat
yang nyaman, banyak buah-buahan dan taman-taman layaknya istana.
Sedangkan pasukan yang dikirim ke Persi, mereka tinggal di sekitar
sungai yang melimpah air tawarnya, juga taman-taman buah peninggalan
para kaisar.
Namun kaum kami yang dikirim ke Bashrah, mereka tinggal di tempat
yang kering dan tandus, tidak subur tanahnya dan tidak pula menumbuhkan
buah-buahan. Salah satu tepinya laut yang asin, tepi satunya hanyalah
hamparan yang tandus. Maka perhatikanlah kesusahan mereka wahai Amirul
Mukminin, perbaikilah kehidupan mereka dan perintahkan gubernur Anda di
Bashrah untuk membuat aliran sungai agar memiliki air tawar yang dapat
meghidupi ternak dan pepohonan. Perbaikilah kondisi mereka dan
keluarganya, ringankanlah penderitaan mereka, karena mereka menjadikan
hal itu sebagai sarana untuk berjihad fii sabilillah.”
Umar takjub mendengarkan keterangannya, kemudian bertanya kepada
utusannya yang lain, “Mengapakah kalian tidak melakukan seperti yang dia
lakukan? Sungguh dia (Ahnaf) –demi Allah- adalah seorang pemimpin.”
Kemudian Umar mempersiapkan perbekalan mereka dan menyiapkan perbekalan
pula untuk Ahnaf. Namun Ahnaf berkata, “Demi Allah wahai amirul
mukminin, tiadalah kami jauh-jauh menemui Anda dan memukul perut onta
selama berhari-hari demi mendapatkan perbekalan. Saya tidak memiliki
keperluan selain keperluan kaumku seperti yang telah saya katakan kepada
Anda. Jika Anda mengabulkannya, itu sudah cukup bagi Anda.” Rasa takjub
Umar semakin bertambah lalu beliau berkata, “Pemuda ini adalah pemimpin
penduduk Bashrah.”
Usailah majelis itu dan para utusan beranjak ke tempat menginap yang
telah disediakan. Umar bin Khathab melayangkan pandangan beliau pada
barang-barang mereka. Dari salah satu bungkusan tersebum sepotong
pakaian. Umar menyentuhnya sambil bertanya, “Milik siapa ini?”
Ahnaf menjawab, “Milik saya, wahai Amirul Mukminin,” dan seketika itu
dia merasa bahwa Umar menganggap barang itu terlalu mewah dan mahal.
Umar bertanya, “Berapa harga baju ini tatkala engkau membelinya?” Ahnaf
berkata, “Delapan dirham.” Ahnaf tidak pernah mendapati dirinya berdusta
kecuali kali ini. Pakaian tersebut dibelinya dengan harga dua belas
dirham.
Umar menatapnya dengan pandangan kasih sayang. Dengan halus dia
berkata, “Saya rasa untukmu cukup satu potong saja, kelebihan harta yang
engkau miliki hendaknya Anda pakai untuk membantu muslim lainnya.” Umar
berkata kepada semuanya, “Ambillah bagi kalian yang diperlukan dan
gunakan kelebihan harta kalian pada tempatnya agar ringan beban kalian
dan banyak mendapatkan pahala.” Ahnaf tertunduk malu mendengarnya dan
beliau tak sanggup berkata apa-apa.
Kemudian Amirul Mukmini memberi ijin kepada para utusan untuk kembali
ke Bashrah. Namun Ahnaf tidak diperkenankan kembali bersama, beliau
diminta tingga bersama Umar selama setahun penuh.
Umar mengamati bahwa pemuda Bani Tamim ini memiliki kecerdasan yang
lebih, fasih berbicara, berjiwa besar, semangat tinggi dan kaya akan
ilmu. Oleh sebab itu amirul mukminin bermaksud membinanya agar menjadi
kader muslim yang berguna dengan cara banyak belajar kepada para sahabat
dan mengikuti jejak mereka dalam menekuni agama Allah. Beliau juga
bermaksud menguji lebih dalam tentang kepribadian Ahnaf sebelum memberi
Ahnaf tugas-tugas kemasyarakatan. Sebab Umar paling khawatir atas
orang-orang yang lihai dan tangkas berbicara. Orang-orang semacam itu,
jika baik bisa memenuhi dunia, dan jika rusak maka kecerdasannya akan
menjadi petaka bagi manusia.
Setahun sudah Ahnaf bersama Umar, lalu Umar berkata, “Wahai Ahnaf,
aku sudah mengujimu, ternyata yang kutemukan dalam dirimu hanyak
kebaikan semata. Kulihat lahiriyahmu baik, maka kuharap batinmu pun
demikian.”
Kemudian beliau mengutus Ahnaf untuk memimpin pasukan ke Persia.
Beliau berpesan kepada panglimanya., yakni Abu Musa Al-Asy’ari, “Untuk
selanjutnya ikutkanlah Ahnaf sebagai pendamping, ajak dia bermusyawarah
dalam segala urusan dan perhatikanlah usulan-usulannya.”
Bergabunglah Ahnaf di bawah panji-panji Islam dan menyerbu daerah
Timur Persia. Beliau mampu membuktikan kepahlawanannya. Namanya makin
tenar dan prestasinya makin cemerlang. Dia dan kaumnya, Bani Tamim,
turut berjasa dalam menaklukkan musuh dengan pengorbanan besar. Banyak
kota dan daerah yang dikuasai, termasuk kota Tustur dan menawan pemimpin
mereka, yaitu Hurmuzan.
Dia adalah pemimpin Pesia yang paling kuat dan keras serta memiliki
tipu muslihat yang lihai dalam berperang. Kemenangan kaum muslimin kali
ini berhasil memaksa dia untuk menyerah. Berkali-kali sudah dia
mengkhianati perjanjian damai dengan muslimin dan mengira bisa
melakukannya terus menerus dan merasa dapat memenangkan kaum muslimin.
Tatkala dia terdesak di salah satu bentengnya yang kokoh di Tustur,
dia masih berkata sumbar, “Aku punya seratus batang panah. Dan demi
Allah kalian tidak mampu menangkapku sebelum habis panah-panah itu.
Padahal kalian tahu bahwa bidikanku tidak pernah meleset, maka kalian
tidak bisa menangkapku sebelum seratus orang dari kalian tewas.”
Pasukan Islam bertanya, “Apa yang engkau kehendaki?” Hurmuzan
menjawab, “Aku mau diadili di bawah hukum Umar bin Khathab. Hanya dia
yang boleh menghukumku.” Mereka berkata, “Baiklah. Kami setuju.”
Dia pun meletakkan panahnya ke tanah dan menyerah kepada kaum
muslimin. Pasukan muslimin membelenggu dia kemudian mengirimkannya ke
Madinah dalam pengawalan yang ketat dari para pahlawan perang di bawah
pimpinan Anas bin Malik, pembantu Rasulullah saw. dan juga Ahnaf bin
Qais, murid dan kader Umar bin Khathab.
Rombongan itu mempercepat perjalanannya menuju Madinah. Semua
berharap agar Amirul Mukminin puas dengan kemenangan tersebut. Mereka
membawa harta untuk baitul maal, yaitu seperlima dari hasil ghanimah.
Juga yang tidak kalah pentingnya adalah Hurmuzan yang selalu
mengkhianati janji itu bisa dihukum khilafah setimpal dengan
kejahatannya.
Setibanya di pinggiran kota Madinah, mereka menyuruh Hurmuzan
mengenakan pakaian kebesarannya yang terbuat dari sutera mahal bertabur
emas permata. Di kepalanya bertengger mahkota yang penuh intan berlian
yang mahal harganya.
Begitu memasuki kota Yatsrib, rakyat besar kecil, tua muda berjubel
menonton tawanan berpakaian mewah itu dengan terheran-heran. Dia
langsung di bawah ke rumah Amirul Mukminin Umar bin Khathab, tetapi
beliau tidak ada di rumah. Seorang berkata, “Beliau pergi ke masjid
untuk menyambut tamu yang datang berkunjung.”
Rombongan itu berjalan ke arah masjid, namun tak terlihat ada di
dalam. Sementara itu orang makin banyak berkerumun. Saat mereka masih
sibuk mencari-cari, anak-anak yang sedang bermain di situ bertanya,
“Apakah kalian mondar mandir untuk mencari Amirul Mukminin Umar?” Mereka
berkata, “Benar, dimana dia?” anak itu menjawab, “Beliau tertidur di
samping kanan majid dengan berbantalkan surbannya.”
Memang tadinya Amirul Mukminin berangkat dari rumahnya untuk menemui
utusan dari Kufah. Tapi setelah mereka pulang, beliau merasa mengantuk
sehingga tidur di samping masjid.
Hurmuzun digiring ke samping masjid. Mereka mendapatkan Amirul
Mukminin sedang tidur nyenyak. Mereka pun duduk menanti hingga beliau
bangun dari tidurnya.
Hurmuzun tidak paham bahasa Arab, tidak tahu apa yang sedang
dibicarakan orang-orang sehingga sama sekali tidak menduga bahwa yang
tidur di depannya adalah Amirul Mukminin. Memang dia sudah mendengar
kesederhanaan dan kezuhudan Umar bin Khathab, tapi tidak disangkanya
bahwa orangnya adalah yang sedang tidur itu. Orang yang telah
menaklukkan Romawi dan raja-raja lain, tidur tanpa bantal dan pengawal.
Melihat orang-orang yang duduk bersamanya, dia mengira mereka sedang
bersiap untuk shalat dan menunggu khalifah.
Ahnaf mengisyaratkan kepada orang-orang untuk tenang agar tidak
membangunkan khalifah dari tidurnya, sebab sepanjang pengetahuannya
dalam menyertai Umar, khalifah itu tidak pernah tidur di malam hari.
Beliau selalu berdiri shalat di mihrabnya, atau menyamar meronda
keliling Madinah untuk menyelidiki hal ikhwal rakyatnya atau menjaga
rumah-rumah dari kejahatan pencuri.
Kemudian tatkala Hurmuzun melihat isyarat Ahnaf kepada orang-orang,
dia menoleh kepada Mughirah bin Syu’bah yang bisa berbahasa Pesia. Dia
bertanya, “Siapakah orang yang tidur itu?” Mughirah menjawab, “Dialah
Amirul Mukminin Umar bin Khathab.”
Betapa terkejutnya Hurmuzun, lalu dia berkata, “Umar? Lalu mana
penjaga dan pengawalnya?” Mughirah menjawab, “Beliau tidak memilih
penjaga maupun pengawal.” Dia berkata, “Kalu begitu, pasti dia Nabi.”
Mughirah berkata, “Bukan, tak ada nabi setelah Nabi Muhammad saw. Hanya
saja tingkah lakunya memang seperti nabi.”
Orang-orang makin padat berdatangan dan suara-suara yang ditimbulkan
makin keras. Umar terbangun dari tidurnya dan heran melihat orang makin
ramai berkerumun. Beliau juga melihat seorang yang mengenakan pakaian
kebesaran, dengan mahkota di kepala dan tongkat bertabur permata indah
di tangan. Umar beralih menatap wajah Ahnaf lalu berkata, “Diakah
Hurmuzun.” Ahnaf menjawabnya, “Benar, wahai Amirul Mukminin.”
Umar kembali mengamati pakaian dan sutera gemerlapan yang dipakai
oleh pemimpin Persia tersebut kemudian memalingkan muka sambil bergumam,
“Aku berlindung kepada Allah dari api neraka dan dari dunia ini.
Terpujilah Allah yang telah menundukkan orang ini dan orang yang
semacamnya untuk Islam.”
Kemudian beliau berkata, “Wahai kaum muslimin. Pegang teguhlah agama
ini dan ikutilah petunjuk Nabi kalian yang bijaksana. Jangan
sekali-kali Anda terpesona oleh dunia, karena duani itu menggiurkan.”
Selanjutnya Ahnaf bin Qais mengutarakan kabar gembir tentang
kemenangannya. Ahnaf berkata, “Wahai Amirul Mukminin, Hurmuzun telah
menyerahkan diri kepada kita dengan syarat akan menerima ketetapan Anda
atas dirinya. Silakan Anda berbicara sendiri kepadanya jika Anda
berkenan.”
Umar berkata, “Aku tak sudi berbicara dengannya sebelum kalian
melepas pakaian kemegahan dan kesombongan itu.” Mereka pun melucuti
semua kemewahan yang dipakai Hurmuzun kemudian memberinya gamis untuk
menutupi auratnya. Sesudah itu Umar menjumpainya dan berkata, “Bagaimana
akibat pengkhianatan dan ingkar janjimu?”
Dengan menunduk penuh kehinaan Hurmuzun menjawab, “Wahai Umar, pada
masa jahiliyah antara kalian dengan kami tidak ada Rabb, kami selalu
menang atas kalian. Tapi begitu kalian memeluk Islam, Allah menyertai
kalian sehingga kami kalah. Kalian menang atas kami karena hal itu, tapi
juga karena kalian bersatu sedangkan kami bercerai berai.”
Umar menatap tajam kepada Hurmuzun dan berkata dengan nada tegas,
“Apa yang menyebabkan kalian ingkar janji, Hurmuzun?” dia berkata, “Aku
khawatir engkau membunuhku sebelum aku menjawabnya.” Umar menjawab,
“Tidak, sebelum engkau menjawabnya.” Hurmuzun menjadi tenang dengan
jawaban tersebut, lalu dia berkata, “Aku haus.”
Umar pun segera memerintahkan untuk mengambil air minum, kemudian
seseorang menyodorkan air dalam suatu wadah yang tebal. Melihat hal itu,
Hurmuzun berkata, “Sampai mati pun, sungguh aku tidak akan minum dari
wadah seperti ini.”
Umar menyuruh petugasnya untuk mengambilkan air dengan wadah yang
disukainya. Hurmuzun menerimanya dengan tangan gemetaran. Umar bertanya,
“Ada apa dengan engkau?” dia menjawab, “Aku takut dibunuh saat meneguk
air ini.” Umar berkata, “Engkau akan aman sampai selesai minum air ini.”
Namun Hurmuzun langsung menuang air itu ke tanah.
Umar berkata, “Bawakan air lagi dan jangan kalian bunuh dai dalam
kehausan!” Hurmuzun berkata, “Aku tak butuh air, aku hanya butuh
keamanan atas diriku.” Umar berkta, “Aku akan membunuhmu!” Hurmuzun
menjawab, “Anda sudah bernjanji menjamin keamananku (hingga meminum air
yang aku buang tadi).” Umar berkata, “Engkau bohong.”
Anas bin Malik berkata, “Dia benar wahai Amirul Mukmin, Anda telah
menjamin keamanannya.” Umar berakta, “Janganlah berlaku bodoh, Anas. Aku
menjami keamanan orang yang telah menewaskan adik Anda, Al-Barra’ bin
Malik serta Majza’ah bin Tsur?! Tidak! Tidak mungkin!”
Anas berkata, “Tapi Anda berkata, ‘Engkau aman sampai minum air ini.”
Ahnaf mendukung kata-kata Anas, demikian pula orang-orang yang lain.
Umar menatap Hurmuzun dengan geram, “Engkau telah memperdayaiku!”
Mereka berkata, “Demi Allah, wahai Amirul Mukminin, tak satu pun
pejabat kita berbuat keji terhadap mereka, menyalahi janji atau menipu.”
Umar berkata, “Lantas mengapa mereka selalu berbalik setiap ada peluang
padahal sudah terikat perjanjian?”
Umar tidak merasa puas dengan jawaban para utusan tersebut. Pada saat
itulah Ahnaf angkat bicara, “Saya akan coba jelaskan apa yang Amirul
Mukminin kehendaki dari pertanyaan Anda.” Umar berkata, “Katakan apa
yang Anda ketahui.” Ahnaf memperjelas jawaban para utusan tersebut,
“Mereka hendak berkata, ‘Anda melarang kami memperluas kekuasaan di
Persia dan memerintahkan agar selalu puas dengan wilayah-wilayah yang
ada di tangan kita. Padahal Persia masih beridiri sebagai kekaisaran
yang berdaulat, masih punya seorang kaisar yang hidup. Tak heran bila
orang Persia itu selalu merongrong kita, sebab mereka ingin merebut
kembali rumah-rumah dan harta benda yang ada di tangan kita. Kawan-kawan
mereka yang terikat pernjanjian dengan kita berusaha bergabung setiap
ada kesempatan dan peluang untuk menang. Memang, tak mungkin ada
kekuasaan bersatu dalam satu wilayah, salah satu pasti harus ke luar.
Kalau saja Anda mengizinkan kami menaklukkan mereka seluruhnya, barulah
akan berhenti makar mereka dan selesai sudah urusan itu.”
Sejenak Umar merenung mendengar uraian itu, lalu berkata, “Engkau
benar wahai Ahnaf. Kini terbuka sudah hal-hal yang belum terjangkau oleh
akalku tentang kaum itu.”
Nantinya, berkat saran Ahnaflah akhirnya terjadi perisitwa besar
sesudahnya. Saran Ahnaf tersebut sangat nampak mempengaruhi putran roda
sejarah.
Diadaptasi dari Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya,
Shuwaru min Hayati at-Tabi’in, atau
Mereka Adalah Para Tabi’in, terj. Abu Umar Abdillah (Pustaka At-Tibyan, 2009), hlm. 386-398.http://www.alislamu.com