Latest Updates

Cara Jitu Mendongkrak Kekayaan

Cara Jitu Mendongkrak Kekayaan

9 Jurus Jitu Mendongkrak Kekayaan


New York- Menjadi orang kaya merupakan impian banyak orang. Hidup bergelimang harta dan bisa membeli apa saja yang Anda inginkan menjadi sebuah kenikmatan tersendiri.

Seiring berjalannya waktu, semua orang tentu menginginkan sebuah kemajuan di hidupnnya termasuk dari sisi finansial. Mengatur keuangan sangat penting karena jika salah strategi, bisa-bisa harta Anda bukan bertambah malah terkikis.

Anda ingin bertambah kaya? Berikut 9 cara untuk meningkatkan kekayaan Anda seperti dikutip dari lifehack.org, Jumat (29/5/2014):


1. Pikirkan uang sebagai alat

Ingat! Uang baik dalam bentuk kertas maupun koin adalah alat untuk mendapatkan yang Anda inginkan. Uang bukanlah satu-satunya cara tapi merupakan alat pembayaran yang diterima secara universal.

Dengan menganggap uang sebagai alat, Anda bisa terhindar dari banyak hal negatif. Anda tidak memakai uang karena emosi, bersikap tenang dan mampu menghemat pengeluaran karena keputusan Anda membeli sesuatu bukan karena emosi sesaat. Jadi terus ingatlah bahwa Uang adalah alat. Itu saja.


2. Butuh Waktu untuk Tingkatkan Kekayaan

Menambah kekayaan tidak bisa dilakukan secara instan, tapi butuh waktu. Tak hanya dalam hitungan hari, namun bertahun-tahun. Uang tidak datang dari langit, tapi perlu usaha untuk bisa mengantonginya.


3. Definisikan Kekayaan

Setiap orang tentu memiliki definisi kekayaan masing-masing. Tentukan makna kekayaan bagi Anda. Punya rekening bank miliaran rupiah untuk memenuhi kebutuhan di masa depan? Sanggup membiayai hobi mahal seperti berkuda, fotografi atau main golf?

Memiliki kesempatan untuk cuti kerja selama setahun dan bisa mempunyai waktu luang untuk membesarkan anak-anak. Memiliki duit berlimpah untuk membeli mobil mewah. Punya rumah, apartemen, dan properti di mana-mana. Apapun definisi Anda tentang kekayaan, Selamat Anda telah mengetahui apa yang menjadi tujuan Anda.
4. Rencanakan keuangan Anda

Mulailah membuat rencana keuangan. Uang yang Anda miliki bisa cepat habis jika dipakai tanpa rencana. Mobil Anda akan rusak, Anda akan memiliki anak-anak sebelum Anda siap secara finansial. Anda atau orang yang dicintai akan dikenakan tagihan medis yang dalam jumlah besar.

Hal ini disebut kehidupan. Uang sebagai alat tetap di saku kita. Dia akan membantu kita dalam menghadapi tantangan kehidupan.

Jadi Ambillah napas dalam-dalam, rileks, dan menerima kenyataan bahwa tujuan keuangan Anda akan terus berubah seiring berjalannya waktu.  Tetap tenang saat pengeluaran tak terduga muncul. Rasa panik atau menyerah saat masa sulit membuat Anda mengakui bahwa uang adalah raja.


5. Bayarlah tunai

Jika Anda ingin membeli barang, tapi Anda tidak mampu membayarnya secara tunai, lalu Anda memmperlakukan kartu kredit Anda seperti uang. Ini menunjukkan gaya hidup anda tidak sesuai dengan pendapatan.

Kalau belum sanggup membeli mobil baru, belilah mobil bekas yang sesuai dengan budget Anda. Jika belum cukup, gunakanlah angkutan umum hingga uang Anda memadai untuk membeli mobil baru ataupun bekas.

6. Menabung

Saran ini sering diulang-ulang, tapi satu rahasia untuk membuat kekayaan Anda berkembang adalah mengumpulkan uang itu.

Anda harus mengembangkan rencana tabungan. Setelah Anda memiliki minimal enam bulan biaya hidup bagi Anda dan keluarga Anda. Anda dapat mulai untuk mengembangkan kekayaan Anda melalui berbagai jenis investasi, sesuai dengan tingkat risiko yang siap Anda ambil.

7. Investasi
Jika sudah memiliki tabungan yang cukup, mulailah berinvestasi. Investasi itu bisa dengan membeli emas, tanah, properti, reksadana atau menanamkan uang dengan membeli saham di pasar modal.
Sesuaikan inevstasi dengan budget Anda. Jangan taruh investasi anda hanya di satu instrumen. Misalnya, jika Anda hanya mengoleksi emas, maka saat harga emas turun, Anda akan rugi besar.

8. Belanja Cerdas

Saat berbelanja jangan lupa untuk membandingkan harga antara barang yang satu dengan yang lain. Waktu sudah menentukan barang yang ingin Anda beli, jangan malu-malu untuk menawarnya.

9. Tingkatkan Pendapatan
Temukan cara kreatif untuk menambah penghasilan. Salah satunya dengan mencari pekerjaan sampingan sesuai dengan keahlian Anda. http://bisnis.liputan6.com

MUTIARA ISLAMI

MUTIARA ISLAMI
KUMPULAN KATA MUTIARA ISLAMI
  • ”Sesungguhnya sebagian perkataan itu ada yang lebih keras dari batu, lebih pahit daripada jadam, lebih panas daripada bara api dan lebih tajam dari pada tusukan.sesungguhnya hati adalah ladang, maka tanamlah ia dengan perkataan yang baik, karena jika tidak tumbuh semuanya niscaya akan tumbuh sebagian” (Al Haditz)
  • “Seseorang melihat kebaikan dalam berbagai hal berarti memiliki pikiran yang baik. dan seseorang yang memiliki pikiran yang baik mendapatkan kenikmatan dari hidup ” (Bediuzzamn Said Nur)
  • “Manusia yang paling lemah adalah ialah orang yang tidak mampu mencari teman. namun yang lebih lemah dari itu ialah orang yang mendapatkan banyak teman tetapi menyia-nyiakannya” (Ali bin Abi Thalib)
  • “Tiap tiap tempat ada kata katanya yang tepat,dan pada setiap kata ada tempatnya yang tepat. setiap pekerjaan ada upahnya,dan setiap perkataan itu ada jawabannya” (Al Hadits)
  • ” Sebaik – baik manusia adalah manusia yang memberikan manfaat bagi sesamanya “
http://man1mataram.sch.id

Pemulung Membeli Motor Tiga Unit

Pemulung Membeli Motor Tiga Unit

Pemulung Besi Tua Yang Mampu Membeli Motor Tiga Unit

Pemulung Besi Tua Yang Mampu Membeli Motor Tiga UnitMeskipun dianggap hina dan sering dipandang sebelah mata, tetapi Nikolas Tlaan (72) yang sehari-hari berprofesi sebagai pemulung besi tua tak berkecil hati. Buktinya, tiga sepeda motor bisa dibelinya secara tunai dan dipakai oleh anak-anaknya untuk menarik ojek.
Nikolas yang ditemui, di sela-sela aktivitasnya, mengaku menggeluti pekerjaan sebagai pemulung besi tua sejak tahun 2001 lalu, setelah sebelumnya menjadi petani lahan kering.
“Orang selama ini menganggap remeh pekerjaan ini, apalagi pakaian yang saya kenakan ini compang-camping, padahal sesungguhnya pemasukan lumayan besar. Bisa untuk membeli keperluan makan, minum, dan lainnya. Ya sehari keluar rumah pukul 07.00 Wita dan pulang rumah pukul 18.00 Wita. Kalau dapat besi sedikit pemasukan yang saya terima Rp 80.000 dan kalau ramai bisa sampai Rp 150.000,” kata Nikolas.
Menurutnya, dari pemasukannya itu, selain mampu membeli motor, uangnya dipinjamkan kepada orang dengan bunga 10 persen. “Banyak yang pinjam uang di saya dan sebagian besar adalah pegawai negeri sipil (PNS). Besaran pinjamannya mulai dari Rp 500.000 sampai Rp 1 juta. Mereka pinjam di saya sejak dua tahun lalu, tapi sampai sekarang uangnya belum dikembalikan,” jelas Nikolas.
Dari hasil kerjanya itu, Nikolas juga mampu membeli belasan ekor ternak, seperti sapi, babi, kambing, dan ayam, sehingga setiap harinya hewan peliharaannya itu dijaga oleh sang istri tercinta, Elisabeth Kefi (70).
ADVERTISEMENT
Ayah dari 12 orang anak ini tak pernah mengeluh sakit, padahal setiap hari rute perjalanan yang dia tempuh cukup panjang, yakni mengelilingi Kota Kefamenanu. Dia mengaku sering digigit anjing, tetapi bukannya sakit, tubuhnya tetap segar bugar. Di usianya yang sudah uzur, Nikolas tetap optimistis menjalani sisa hidupnya dengan menikmati pekerjaan yang sering dianggap kebanyakan orang adalah pekerjaan yang hina.http://www.beritakaget.com

Kisah Ahnaf bin Qais

Kisah Ahnaf bin Qais

Ahnaf bin Qais (Berguru Kepada Umar Al-Faruq)

Kita memasuki masa awal khilafah Umar bin Khathab. Saat di mana para pahlawan dan tokoh kaum Ahnaf bin Qais, yaitu Bani Tamim, berlomba memacu kuda-kuda mereka yang perkasa dengan pedang terhunus yang berkilat-kilat. Dari rumah-rumahnya di Ahsa dan Najd mereka keluar menuju Bashrah, untuk bergabung pasukan muslimin yang telah berkumpul di sana, di bawah pimpinan Utbah bin Ghazwan. Mereka hendak menghadapi Persia, berjihad fii sabilillah dan mengharapkan mardhatillah. Di tengah-tengah mereka ada seorang pemuda bernama Ahnaf bin Qais.
Suatu hari Utbah bin Ghazwan menerima surat dari Amirul Mukminin Umar bin Khathab meminta agar dikirim sepuluh orang prajurit utama dari pasukannya yang telah berjasa dalam perang. Amirul Mukminin inginm mengetahui hal ihwal pasukan Islam dan ingin meminta pertimbangan mereka.
Perintah itu pun segera dilaksanakan oleh Utbah. Beliau mengirim sepuluh orang pasukan yang terbaik kepada Amirul Mukminin di Madinah, termasuk Ahnaf bin Qais. Lalu berangkatlah mereka menuju Madinah.
Setibanya para utusan itu disambut oleh Amirul Mukminin dan dipersilakan duduk di dalam majelisnya. Mereka ditanya tentang kebutuhan-kebutuhan rakyat semuanya. Mereka berkata, “Tentang kebutuhan rakyat secara umum Anda lebih tahu karena Anda adalah pemimpinnya. Maka kami hanya berbicara atas nama pribadi kami sendiri.” Kemudian masing-masing meminta kebutuhannya.
Kebetulan Ahnaf bin Qais mendapatkan kesempatan terakhir untuk berbicara karena terhitung paling muda di antara mereka. Beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian berkata, “Wahai amirul mukminin sesungguhnya tentara kaum muslimin yang dikirim ke Mesir, mereka tinggal di daerah subur menghijau dan tempat yang mewah peninggalan Fir’aun. Sedangkan pasukan yang dikirim ke negeri Syam, mereka tinggal di tempat yang nyaman, banyak buah-buahan dan taman-taman layaknya istana. Sedangkan pasukan yang dikirim ke Persi, mereka tinggal di sekitar sungai yang melimpah air tawarnya, juga taman-taman buah peninggalan para kaisar.
Namun kaum kami yang dikirim ke Bashrah, mereka tinggal di tempat yang kering dan tandus, tidak subur tanahnya dan tidak pula menumbuhkan buah-buahan. Salah satu tepinya laut yang asin, tepi satunya hanyalah hamparan yang tandus. Maka perhatikanlah kesusahan mereka wahai Amirul Mukminin, perbaikilah kehidupan mereka dan perintahkan gubernur Anda di Bashrah untuk membuat aliran sungai agar memiliki air tawar yang dapat meghidupi ternak dan pepohonan. Perbaikilah kondisi mereka dan keluarganya, ringankanlah penderitaan mereka, karena mereka menjadikan hal itu sebagai sarana untuk berjihad fii sabilillah.”
Umar takjub mendengarkan keterangannya, kemudian bertanya kepada utusannya yang lain, “Mengapakah kalian tidak melakukan seperti yang dia lakukan? Sungguh dia (Ahnaf) –demi Allah- adalah seorang pemimpin.” Kemudian Umar mempersiapkan perbekalan mereka dan menyiapkan perbekalan pula untuk Ahnaf. Namun Ahnaf berkata, “Demi Allah wahai amirul mukminin, tiadalah kami jauh-jauh menemui Anda dan memukul perut onta selama berhari-hari demi mendapatkan perbekalan. Saya tidak memiliki keperluan selain keperluan kaumku seperti yang telah saya katakan kepada Anda. Jika Anda mengabulkannya, itu sudah cukup bagi Anda.” Rasa takjub Umar semakin bertambah lalu beliau berkata, “Pemuda ini adalah pemimpin penduduk Bashrah.”
Usailah majelis itu dan para utusan beranjak ke tempat menginap yang telah disediakan. Umar bin Khathab melayangkan pandangan beliau pada barang-barang mereka. Dari salah satu bungkusan tersebum sepotong pakaian. Umar menyentuhnya sambil bertanya, “Milik siapa ini?”
Ahnaf menjawab, “Milik saya, wahai Amirul Mukminin,” dan seketika itu dia merasa bahwa Umar menganggap barang itu terlalu mewah dan mahal. Umar bertanya, “Berapa harga baju ini tatkala engkau membelinya?” Ahnaf berkata, “Delapan dirham.” Ahnaf tidak pernah mendapati dirinya berdusta kecuali kali ini. Pakaian tersebut dibelinya dengan harga dua belas dirham.
Umar menatapnya dengan pandangan kasih sayang. Dengan halus dia berkata, “Saya rasa untukmu cukup satu potong saja, kelebihan harta yang engkau miliki hendaknya Anda pakai untuk membantu muslim lainnya.” Umar berkata kepada semuanya, “Ambillah bagi kalian yang diperlukan dan gunakan kelebihan harta kalian pada tempatnya agar ringan beban kalian dan banyak mendapatkan pahala.” Ahnaf tertunduk malu mendengarnya dan beliau tak sanggup berkata apa-apa.
Kemudian Amirul Mukmini memberi ijin kepada para utusan untuk kembali ke Bashrah. Namun Ahnaf tidak diperkenankan kembali bersama, beliau diminta tingga bersama Umar selama setahun penuh.
Umar mengamati bahwa pemuda Bani Tamim ini memiliki kecerdasan yang lebih, fasih berbicara, berjiwa besar, semangat tinggi dan kaya akan ilmu. Oleh sebab itu amirul mukminin bermaksud membinanya agar menjadi kader muslim yang berguna dengan cara banyak belajar kepada para sahabat dan mengikuti jejak mereka dalam menekuni agama Allah. Beliau juga bermaksud menguji lebih dalam tentang kepribadian Ahnaf sebelum memberi Ahnaf tugas-tugas kemasyarakatan. Sebab Umar paling khawatir atas orang-orang yang lihai dan tangkas berbicara. Orang-orang semacam itu, jika baik bisa memenuhi dunia, dan jika rusak maka kecerdasannya akan menjadi petaka bagi manusia.
Setahun sudah Ahnaf bersama Umar, lalu Umar berkata, “Wahai Ahnaf, aku sudah mengujimu, ternyata yang kutemukan dalam dirimu hanyak kebaikan semata. Kulihat lahiriyahmu baik, maka kuharap batinmu pun demikian.”
Kemudian beliau mengutus Ahnaf untuk memimpin pasukan ke Persia. Beliau berpesan kepada panglimanya., yakni Abu Musa Al-Asy’ari, “Untuk selanjutnya ikutkanlah Ahnaf sebagai pendamping, ajak dia bermusyawarah dalam segala urusan dan perhatikanlah usulan-usulannya.”
Bergabunglah Ahnaf di bawah panji-panji Islam dan menyerbu daerah Timur Persia. Beliau mampu membuktikan kepahlawanannya. Namanya makin tenar dan prestasinya makin cemerlang. Dia dan kaumnya, Bani Tamim, turut berjasa dalam menaklukkan musuh dengan pengorbanan besar. Banyak kota dan daerah yang dikuasai, termasuk kota Tustur dan menawan pemimpin mereka, yaitu Hurmuzan.
Dia adalah pemimpin Pesia yang paling kuat dan keras serta memiliki tipu muslihat yang lihai dalam berperang. Kemenangan kaum muslimin kali ini berhasil memaksa dia untuk menyerah. Berkali-kali sudah dia mengkhianati perjanjian damai dengan muslimin dan mengira bisa melakukannya terus menerus dan merasa dapat memenangkan kaum muslimin.
Tatkala dia terdesak di salah satu bentengnya yang kokoh di Tustur, dia masih berkata sumbar, “Aku punya seratus batang panah. Dan demi Allah kalian tidak mampu menangkapku sebelum habis panah-panah itu. Padahal kalian tahu bahwa bidikanku tidak pernah meleset, maka kalian tidak bisa menangkapku sebelum seratus orang dari kalian tewas.”
Pasukan Islam bertanya, “Apa yang engkau kehendaki?” Hurmuzan menjawab, “Aku mau diadili di bawah hukum Umar bin Khathab. Hanya dia yang boleh menghukumku.” Mereka berkata, “Baiklah. Kami setuju.”
Dia pun meletakkan panahnya ke tanah dan menyerah kepada kaum muslimin. Pasukan muslimin membelenggu dia kemudian mengirimkannya ke Madinah dalam pengawalan yang ketat dari para pahlawan perang di bawah pimpinan Anas bin Malik, pembantu Rasulullah saw. dan juga Ahnaf bin Qais, murid dan kader Umar bin Khathab.
Rombongan itu mempercepat perjalanannya menuju Madinah. Semua berharap agar Amirul Mukminin puas dengan kemenangan tersebut. Mereka membawa harta untuk baitul maal, yaitu seperlima dari hasil ghanimah. Juga yang tidak kalah pentingnya adalah Hurmuzan yang selalu mengkhianati janji itu bisa dihukum khilafah setimpal dengan kejahatannya.
Setibanya di pinggiran kota Madinah, mereka menyuruh Hurmuzan mengenakan pakaian kebesarannya yang terbuat dari sutera mahal bertabur emas permata. Di kepalanya bertengger mahkota yang penuh intan berlian yang mahal harganya.
Begitu memasuki kota Yatsrib, rakyat besar kecil, tua muda berjubel menonton tawanan berpakaian mewah itu dengan terheran-heran. Dia langsung di bawah ke rumah Amirul Mukminin Umar bin Khathab, tetapi beliau tidak ada di rumah. Seorang berkata, “Beliau pergi ke masjid untuk menyambut tamu yang datang berkunjung.”
Rombongan itu berjalan ke arah masjid, namun tak terlihat ada di dalam. Sementara itu orang makin banyak berkerumun. Saat mereka masih sibuk mencari-cari, anak-anak yang sedang bermain di situ bertanya, “Apakah kalian mondar mandir untuk mencari Amirul Mukminin Umar?” Mereka berkata, “Benar, dimana dia?” anak itu menjawab, “Beliau tertidur di samping kanan majid dengan berbantalkan surbannya.”
Memang tadinya Amirul Mukminin berangkat dari rumahnya untuk menemui utusan dari Kufah. Tapi setelah mereka pulang, beliau merasa mengantuk sehingga tidur di samping masjid.
Hurmuzun digiring ke samping masjid. Mereka mendapatkan Amirul Mukminin sedang tidur nyenyak. Mereka pun duduk menanti hingga beliau bangun dari tidurnya.
Hurmuzun tidak paham bahasa Arab, tidak tahu apa yang sedang dibicarakan orang-orang sehingga sama sekali tidak menduga bahwa yang tidur di depannya adalah Amirul Mukminin. Memang dia sudah mendengar kesederhanaan dan kezuhudan Umar bin Khathab, tapi tidak disangkanya bahwa orangnya adalah yang sedang tidur itu. Orang yang telah menaklukkan Romawi dan raja-raja lain, tidur tanpa bantal dan pengawal. Melihat orang-orang yang duduk bersamanya, dia mengira mereka sedang bersiap untuk shalat dan menunggu khalifah.
Ahnaf mengisyaratkan kepada orang-orang untuk tenang agar tidak membangunkan khalifah dari tidurnya, sebab sepanjang pengetahuannya dalam menyertai Umar, khalifah itu tidak pernah tidur di malam hari. Beliau selalu berdiri shalat di mihrabnya, atau menyamar meronda keliling Madinah untuk menyelidiki hal ikhwal rakyatnya atau menjaga rumah-rumah dari kejahatan pencuri.
Kemudian tatkala Hurmuzun melihat isyarat Ahnaf kepada orang-orang, dia menoleh kepada Mughirah bin Syu’bah yang bisa berbahasa Pesia. Dia bertanya, “Siapakah orang yang tidur itu?” Mughirah menjawab, “Dialah Amirul Mukminin Umar bin Khathab.”
Betapa terkejutnya Hurmuzun, lalu dia berkata, “Umar? Lalu mana penjaga dan pengawalnya?” Mughirah menjawab, “Beliau tidak memilih penjaga maupun pengawal.” Dia berkata, “Kalu begitu, pasti dia Nabi.” Mughirah berkata, “Bukan, tak ada nabi setelah Nabi Muhammad saw. Hanya saja tingkah lakunya memang seperti nabi.”
Orang-orang makin padat berdatangan dan suara-suara yang ditimbulkan makin keras. Umar terbangun dari tidurnya dan heran melihat orang makin ramai berkerumun. Beliau juga melihat seorang yang mengenakan pakaian kebesaran, dengan mahkota di kepala dan tongkat bertabur permata indah di tangan. Umar beralih menatap wajah Ahnaf lalu berkata, “Diakah Hurmuzun.” Ahnaf menjawabnya, “Benar, wahai Amirul Mukminin.”
Umar kembali mengamati pakaian dan sutera gemerlapan yang dipakai oleh pemimpin Persia tersebut kemudian memalingkan muka sambil bergumam, “Aku berlindung kepada Allah dari api neraka dan dari dunia ini. Terpujilah Allah yang telah menundukkan orang ini dan orang yang semacamnya untuk Islam.”
Kemudian beliau berkata, “Wahai kaum muslimin. Pegang teguhlah agama ini dan ikutilah petunjuk Nabi kalian yang bijaksana. Jangan sekali-kali Anda terpesona oleh dunia, karena duani itu menggiurkan.”
Selanjutnya Ahnaf bin Qais mengutarakan kabar gembir tentang kemenangannya. Ahnaf berkata, “Wahai Amirul Mukminin, Hurmuzun telah menyerahkan diri kepada kita dengan syarat akan menerima ketetapan Anda atas dirinya. Silakan Anda berbicara sendiri kepadanya jika Anda berkenan.”
Umar berkata, “Aku tak sudi berbicara dengannya sebelum kalian melepas pakaian kemegahan dan kesombongan itu.” Mereka pun melucuti semua kemewahan yang dipakai Hurmuzun kemudian memberinya gamis untuk menutupi auratnya. Sesudah itu Umar menjumpainya dan berkata, “Bagaimana akibat pengkhianatan dan ingkar janjimu?”
Dengan menunduk penuh kehinaan Hurmuzun menjawab, “Wahai Umar, pada masa jahiliyah antara kalian dengan kami tidak ada Rabb, kami selalu menang atas kalian. Tapi begitu kalian memeluk Islam, Allah menyertai kalian sehingga kami kalah. Kalian menang atas kami karena hal itu, tapi juga karena kalian bersatu sedangkan kami bercerai berai.”
Umar menatap tajam kepada Hurmuzun dan berkata dengan nada tegas, “Apa yang menyebabkan kalian ingkar janji, Hurmuzun?” dia berkata, “Aku khawatir engkau membunuhku sebelum aku menjawabnya.” Umar menjawab, “Tidak, sebelum engkau menjawabnya.” Hurmuzun menjadi tenang dengan jawaban tersebut, lalu dia berkata, “Aku haus.”
Umar pun segera memerintahkan untuk mengambil air minum, kemudian seseorang menyodorkan air dalam suatu wadah yang tebal. Melihat hal itu, Hurmuzun berkata, “Sampai mati pun, sungguh aku tidak akan minum dari wadah seperti ini.”
Umar menyuruh petugasnya untuk mengambilkan air dengan wadah yang disukainya. Hurmuzun menerimanya dengan tangan gemetaran. Umar bertanya, “Ada apa dengan engkau?” dia menjawab, “Aku takut dibunuh saat meneguk air ini.” Umar berkata, “Engkau akan aman sampai selesai minum air ini.” Namun Hurmuzun langsung menuang air itu ke tanah.
Umar berkata, “Bawakan air lagi dan jangan kalian bunuh dai dalam kehausan!” Hurmuzun berkata, “Aku tak butuh air, aku hanya butuh keamanan atas diriku.” Umar berkta, “Aku akan membunuhmu!” Hurmuzun menjawab, “Anda sudah bernjanji menjamin keamananku (hingga meminum air yang aku buang tadi).” Umar berkata, “Engkau bohong.”
Anas bin Malik berkata, “Dia benar wahai Amirul Mukmin, Anda telah menjamin keamanannya.” Umar berakta, “Janganlah berlaku bodoh, Anas. Aku menjami keamanan orang yang telah menewaskan adik Anda, Al-Barra’ bin Malik serta Majza’ah bin Tsur?! Tidak! Tidak mungkin!”
Anas berkata, “Tapi Anda berkata, ‘Engkau aman sampai minum air ini.” Ahnaf mendukung kata-kata Anas, demikian pula orang-orang yang lain. Umar menatap Hurmuzun dengan geram, “Engkau telah memperdayaiku!”
Mereka berkata, “Demi Allah, wahai Amirul Mukminin, tak satu pun pejabat kita berbuat keji terhadap mereka, menyalahi janji atau menipu.” Umar berkata, “Lantas mengapa mereka selalu berbalik setiap ada peluang padahal sudah terikat perjanjian?”
Umar tidak merasa puas dengan jawaban para utusan tersebut. Pada saat itulah Ahnaf angkat bicara, “Saya akan coba jelaskan apa yang Amirul Mukminin kehendaki dari pertanyaan Anda.” Umar berkata, “Katakan apa yang Anda ketahui.” Ahnaf memperjelas jawaban para utusan tersebut, “Mereka hendak berkata, ‘Anda melarang kami memperluas kekuasaan di Persia dan memerintahkan agar selalu puas dengan wilayah-wilayah yang ada di tangan kita. Padahal Persia masih beridiri sebagai kekaisaran yang berdaulat, masih punya seorang kaisar yang hidup. Tak heran bila orang Persia itu selalu merongrong kita, sebab mereka ingin merebut kembali rumah-rumah dan harta benda yang ada di tangan kita. Kawan-kawan mereka yang terikat pernjanjian dengan kita berusaha bergabung setiap ada kesempatan dan peluang untuk menang. Memang, tak mungkin ada kekuasaan bersatu dalam satu wilayah, salah satu pasti harus ke luar. Kalau saja Anda mengizinkan kami menaklukkan mereka seluruhnya, barulah akan berhenti makar mereka dan selesai sudah urusan itu.”
Sejenak Umar merenung mendengar uraian itu, lalu berkata, “Engkau benar wahai Ahnaf. Kini terbuka sudah hal-hal yang belum terjangkau oleh akalku tentang kaum itu.”
Nantinya, berkat saran Ahnaflah akhirnya terjadi perisitwa besar sesudahnya. Saran Ahnaf tersebut sangat nampak mempengaruhi putran roda sejarah.
Diadaptasi dari Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, Shuwaru min Hayati at-Tabi’in, atau Mereka Adalah Para Tabi’in, terj. Abu Umar Abdillah (Pustaka At-Tibyan, 2009), hlm. 386-398.http://www.alislamu.com

Bukti Akan Kepandaian dan Kecerdasannya

Bukti Akan Kepandaian dan Kecerdasannya

Abu Hanifah An-Nu’man (Bukti Akan Kepandaian dan Kecerdasannya)

imam-abu-hanifa Suatu ketika Abu Hanifah menjumpai Imam Malik yang tengah duduk bersama para sahabatnya. Setelah Abu Hanifah keluar, Imam Malik menoleh kepada mereka dan berkata, “Tahukan kalian, siapa dia?” mereja menjawab, “Tidak.” Beliau berkata, “Dialah Nu’man bin Tsabit, yang seandainya berkata bahwa tiang masjid itu emas, niscaya perkataannya menjadi dipakai orang sebagai argumen.”
Tidaklah berlebihan apa yang dikatakan Imam Malik dalam menggambarkan diri Abu Hanifah, sebab beliau memang memiliki kekuatan dalam berhujjah, cepat daya tangkapnya, cerdas dan tajam wawasannya.
Buku sejarah dan kisah sangat banyak menggambarkan kekeuatan argumentasinya dalam menghadapi lawan bicaranya ketika adu argumen, begitu pula ketika menghadapi penentang akidah. Semuanya membuktikan kebenaran pujian Imam Malik, “Seandainya dia mengatakan bahwa tanah di tanganmu itu emas, maka engkau akan membenarkannya karena alasannya yang tepat dan mengikuti pernyataannya.” Bagaimana pula jika yang dipertahankan adalah kebenaran, dan argumentasinya untuk membela kebenaran?”
Sebagai bukti, ada seorang dari Kuffah yang disesatkan oleh Allah. Dia termasuk orang terpandang dan didengar omongannya. Laki-laki itu menuduh di hadapan orang-orang bahwa Utsman bin Affan asalnya adalah Yahudi, lalu menganut Yahudi lagi setelah Islamnya.
Demi mendengar berita tersebut, Abu Hanifah bergegas menjumpainya dan berkata, “Aku datang kepadamu untuk meminang putrimu yang berkata fulanah untuk seorang sahabatku.” Dia berkata, “Selamat atas kedatangan anda. Orang seperti Anda tidak layak ditolak keperluannya wahai Abu Hanifah. Akan tetapi, siapakah peminang itu?” beliau menjawab, “Seorang yang terkemuka dan terhitung kaya di tengah kaumnya, dermawan dan ringan tangan, hafal Kitabullah, menghabiskan malam dengan satu ruku’ dan sering menangis karena takwa dan takutnya kepada Allah.”
Laki-laki itu berkata, “Wah.. wah.., cukup wahai Abu Hanifah, sebagian saja yang Anda sebutkan sudah cukup baginya untuk meminang seorang putri Amirul Mukminin.” Abu Hanifah berkata, “Hanya saja ada satu hal yang perlu Anda pertimbangkan.” Dia bertanya, “Apakah itu?” Abu Hanifah berkata, “Dia seorang Yahudi.” Mendengar hal itu, orang itu terperanjat dan bertanya-tanya, “Yahudi?! Apakah Anda ingin saya menikahkan putri saya dengan seorang Yahudi wahai Abu Hanifah? Demi Allah aku tidak akan menikahkan putriku dengannya, walaupun dia memiliki segalanya dari yang awal sampai yang akhir.”
Lalu Abu Hanifah berkata, “Engkau menolak menikahkan putrimu dengan seorang Yahudi dan engkau mengingkarinya dengan kerasnya, tapi engkau sebarkan berita kepada orang-orang bahwa Rasulullah saw. telah menikahkan kedua putrinya dengan Yahudi (yakni Utsman)?”
Seketika orang itu gemetaran tubuhnya lalu berkata, “Asataghfirullah, aku memohon ampun kepada Allah atas kata-kata buruk yang aku katakan. Aku bertaubat dari tuduhan busuk yang saya lontarkan.”
Contoh lain ada seorang khawarij bernama Adh-Dhahak Asy-Syari pernah datang menemui Abu Hanifah dan berkata:
Adh-Dhahak, “Wahai Abu Hanifah, bertaubatlah Anda.”
Abu Hanifah, “Bertaubat dari apa?”
Adh-Dhahak, “Dari pendapat Anda yang membenarkannya tahkim antara Ali dan Muawiyah.”
Abu Hanifah, “Maukan Anda berdiskusi dengan saya dalam masalah ini?”
Adh-Dhahak, “Baiklah, saya bersedia.”
Abu Hanifah, “Bila kita nanit berselisih paham, siapa yang akan menjadi hakim di antara kita?”
Adh-Dhahak, “Pilihlah sesuka Anda.”
Abu Hanifah menoleh kepada seorang Khawarij lain yang menyertai orang itu lalu berkata:
Abu Hanifah, “Engkau menjadi hakim di antara kami.” (dan kepada orang pertama beliau bertanya,) “Saya rela kawanmu menjadi hakim, apakah engkau juga rela?”
Adh-Dhahak, “Ya, saya rela.”
Abu Hanifah, “Bagaimana ini, engkau menerima tahkim atas apa yang terjadi di antara saya dan kamu, tapi menolak dua sahabat Rasulullah yang bertahkim?”
Maka orang itu pun mati kutu dan tak sanggup berbicara sepatah kata pun.
Contoh yang lain lagi, bahwa Jahm bin Sofwan, pentolan kelompok Jahmiyah yang sesat, penyebar bid’ah dan ajaran sesat di bumi pernah mendatangi Abu Hanifah seraya berkata:
Jahm, “Saya datang untuk membicarakan beberapa hal yang sudah saya persiapkan.”
Abu Hanifah, “Bedialog denganmu adalah cela dan larut dengan apa yang kamu bicarakan berarti neraka yang menyala-nyala.”
Jahm, “Bagaimana Anda bisa memvonis saya demikian, padahal Anda belum pernah bertemu denganku sebelumnya dan belum pernah mendengar pendapat-pendapat saya?”
Abu Hanifah, “Telah sampai kepada saya berita-berita tentangmu yang telah berpendapat dengan pendapat yang tidak layak keluar dari mulut ahli kiblat (muslim).
Jahm, “Anda menghakimi saya secara sepihak?”
Abu Hanifah, “Orang-orang umum dan khusus sudah mengetahui perihal Anda, sehingga boleh bagiku menghukumi dengan sesuatu yang telah mutawatir kabarnya tentang Anda.”
Jahm, “Saya tidak ingin membicarakan dan menanyakan tentang apa-apa kecuali tentang keimanan.”
Abu Hanifah, “Apakah hingga saat ini kamu belum mengetahui juga tentang masalah itu hingga perlu menanyakan kepada saya?”
Jahm, “Saya memang sudah paham, namun saya meragukan salah satu bagiannya.”
Abu Hanifah, “Keraguan dalam keimanan adalah kufur.”
Jahm, “Anda tidak boleh menuduh saya kufur sebelum mendengar tentang apa yang menyebabkan saya kufur.”
Abu Hanifah, “Silakan bertanya!”
Jahm, “Telah sampai kepadaku tentang seorang yang mengenal dan mengakui Allah dalam hatinya bahwa Dia tak punya sekutu, tak ada yang menyamai-Nya dan mengetahui sifat-sifat-Nya, lalu orang itu mati tanpa menyatakan dengan lisannya, orang ini dihukumi mukmin atau kafir?”
Abu Hanifah, “Dia mati dalam kafir dan menjadi penghuni neraka bila tidak menyatakan dengan lidahnya apa yang diketahui oleh hatinya, selagi tidak ada penghalang baginya untuk mengatakannya.”
Jahm, “Mengapa tidak dianggap sebagai mukmin padahal dia mengenal Allah dengan sebenar-benarnya?”
Abu Hanifah, “Bila Anda beriman kepada Al-Qur’an dan mau menjadikannya sebagai hujjah, maka saya akan meneruskan bicara. Tapi jika engkau tidak beriman kepada Al-Qur’an dan tidak memakainya sebagai hujjah, maka berarti saya sedang berbicara dengan orang yang menentang Islam.”
Jahm, “Bahkan saya mengimani dan menjadikannya sebagai hujjah.”
Abu Hanifah, “Sesungguhnya Allah menjadikan iman atas dua sendi, yaitu dengan hati dan lisan, bukan dengan salah satu darinya. Kitabullah dan hadits Rasulullah jelas-jelas menyatakan hal itu:
Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu Lihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Quran) yang telah mereka ketahui (dari Kitab-Kitab mereka sendiri); seraya berkata: “Ya Tuhan Kami, Kami telah beriman, Maka catatlah Kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al Quran dan kenabian Muhammad s.a.w.). Mengapa Kami tidak akan beriman kepada Allah dan kepada kebenaran yang datang kepada Kami, Padahal Kami sangat ingin agar Tuhan Kami memasukkan Kami ke dalam golongan orang-orang yang saleh ?”. Maka Allah memberi mereka pahala terhadap Perkataan yang mereka ucapkan, (yaitu) surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, sedang mereka kekal di dalamnya. dan Itulah Balasan (bagi) orang-orang yang berbuat kebaikan (yang ikhlas keimanannya),” (Al-Maidah: 83-85).
Karena mereka mengetahui kebenaran dalam hati lalu menyatakannya dengan lisan, maka Allah memasukkannya ke dalam surga yang di dalamnya terdapat sungai-sungai yang mengalir karena pernyataan keimanannya itu. Allah Ta’ala juga berfirman:
“Katakanlah (hai orang-orang mukmin): ‘Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada Kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan Kami hanya tunduk patuh kepada-Nya’,” (Al-Baqarah: 136).
Allah menyuruh mereka mengucapkannya dengan lisan, tidak hanya cukup dengan ma’rifah dan ilmu saja. Begitu pula dengan hadits Rasulullah saw, “Ucapkanlah, Laa ilaaha illallah, niscaya kalian akan beruntung.”
Maka belumlah dikatakan beruntung bila hanya sekedar mengenal dan tidak dikukuhkan dengan kata-kata.
Rasulullah saw. bersabda, “Akan dikeluarkan dari neraka barangsiapa megucapkan laa ilaaha illallah..”
Dan Nabi tidak mengatakan, “Akan dikelaurkan dari neraka barangsiap yang mengenal Allah.”
Kalau saja pernyataan lisan tidak diperlukan dan cukup hanya sekedar dengan pengetahuannya, niscaya Iblis juga termasuk mukmin, sebab dia menganal Rabbnya, tahu bahwa Allahlah yang menciptakannya, juga yang akan membangkitkannya, tahu bahwa Allah menyesatkannya. Allah Ta’ala berfirman tatkala menirukan perkataannya.
Saya lebih baik daripadanya: Engkau cipatakan saya dari api sedangkan ia Engkau ciptakan dari tanah,” (Al-A’raf: 12).
Kemudian:
“Berkata Iblis, ‘Ya Tuhanku, (kalau begitu) maka beri tanggulah kepadaku sampai hari manusia dibangkitkan’.” (Al-Hijr: 36).
Juga firman Allah Ta’ala:
Iblis menjawab, “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yagn lurus,” (Al-A’raf: 16).
Seandainya apa yang engkau katakan itu benar, niscaya banyaklah orang-orang kafir yang dianggap beriman karena mengetahui Rabbnya walaupun mereka ingkar dengan lisannya.
Firman Allah Ta’ala:
Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini kebenarannya,” (An-Naml: 14).
Padahal mereka tidak disebut mukmin meski meyakininya, justru dianggap kafir karena kepalsuan lisan mereka.
Abu Hanifah terus menyerang Jahm bin Shafwan dengan hujjah-hujjah yang kuat, adakalanya dengan Al-Qur’an dan adakalanya dengan hadits-hadits. Akhirnya orang itu kewalahan dan tampaklah raut kehinaan dalam wajahnya. Dia enyah dari hadapan Abu Hanifah sambil berkata, “Anda telah mengingatkan sesuatu yang telah saya lupakan, saya akan kembali kepada Anda.” Lalu dia pergi untuk tidak kembali.
Kasus yang lain, sewaktu Abu Hanifah berjumpa dengan orang-orang atheis yang mengingkari eksistensi Al-Khaliq. Beliau bercerita kepada mereka:
“Bagaimana pendapat kalian, jika ada sebuah kapal diberi muatan barang-barang, penuh dengan barang-barang dan beban. Kapal tersebut mengarungi samudera. Gelombangnya kecil dan anginnya tenang. Akan tetapi setelah kapalnya sampai di tengah tiba-tiba terjadi badai besar. Anehnya kapal terus berlayar dengan tengang sehingga tiba di tujuan sesuai rencana tanpa goncangan dan berbelok arah, padahal tak ada nahkoda yang mengemudikan dan mengendalikan kapal. Masuk akalkah cerita ini?”
Mereka berkata, “Tidak mungkin. Itu adalah sesuatu yang tidak bisa diterima oleh akal, bahkan oleh khayal sekalipunn, wahai syaikh. Lalu Abu Hanifah berkata, “Subhanallah, kalian mengingkari adanya kapal yang berlayar sendir tanpa pengemudi, namun kalian mengakui bahwa alam semesta yang terdiri dari lautan yang membentang, langit yang penuh bintang dan benda-benda langit serta burung yang berterbangan tanpa adanya Pencipta yang sempurna penciptaan-Nya dan mengaturnya dengan cermat?! Celakalah kalian, lantas apa yang membuat kalian ingkar kepada Allah?”
Begitulah, Abu Hanifah menghabiskan seluruh hidupnya untuk menyebarkan dienullah dengan kekuatan argumen yang dianugerahkan Al-Khaliq kepadanya. Beliau menghadapi para penentang dengan argumentasinya yang tepat.
Tatkala ajal menjemputnya, ditemukan wasiat beliau yang berpesan agar dikebumikan di tanah yang baik, jauh dari segala tempat yang berstatus syubhat (tidak jelas) atau hasil ghasab.
Ketika wasiat itu didengar oleh khalifah Al-Manshur beliau berkata, “Siapa lagi orang yang lebih bersih dari Abu Hanifah dalam hidup dan matinya.”
Di samping itu, beliau juga berpesan agar jenazahnya kelak dimandikan oleh Al-Hasan bin Amarah. Setelah melaksanakan pesannya, Ibnu Amarah berakta, “Semoga Allah merahmati Anda wahai Abu Hanifah, semoga Allah mengampuni dosa-dosa Anda karena jasa-jasa yang telah Anda kerjakan, sungguh Anda tidak pernah putus shoum selama tiga puluh tahun, tidak berbantal ketika tidur selama empat puluh tahun, dan kepergian Anda akan membuat lesu para fuqaha setelah Anda.”
Diadaptasi dari Dr. Abdurrahman Ra’fat Basya, Shuwaru min Hayati at-Tabi’in, atau Mereka Adalah Para Tabi’in, terj. Abu Umar Abdillah (Pustaka At-Tibyan, 2009), hlm. 406-416.http://www.alislamu.com